Sabtu sore, 5 November 2011. Lirik lagu itu terus saja terdengar di telingaku. One litre of Tears, sebuah film yang menceritakan perjuangan Aya, seorang gadis berkebangsaan Jepang yang menderita penyakit ataksia (Spinocellebral degeneration disease).
Melihat film ini seperti bercermin pada diriku sendiri. Bayang-bayang
masa lau, dan harapan tentang masa depan membuatku tak berhenti
mengeluarkan air mata. Seperti mata air Aya yang menghiasi buku
hariannya.
Aku menangis, saat Aya menyadari bahwa hidupnya tidak akan lama lagi.
Seorang gadis 15 tahun yang penuh mimpi dan cita-cita terpaksa harus
menerima realita bahwa dia tak akan menjalani hidup seperti gadis-gaids
remaja yang lainnya. Perlahan dia akan kesulitan berjalan, tidak mampu
berbicara kecuali sepatah dua patah kata, bahkan untuk makan pun ia
perlu minta bantuan pada orang lain.
Seketika aku melihat bayangan diriku tujuh tahun yang lalu. Saat usiaku 16 tahun, dokter menyatakan bahwa aku terkena Schizophrenia. Perlahan-lahan
aku akan tidak bisa lancar berbicara, pikiranku selalu bingung. Suatu
saat, aku menangis tanpa sebab. Di saat lain, aku lupa pada benda-benda
yang penting bagiku. Aku harus menjalani terapi pengobatan, dan terpaksa
harus berhenti sekolah. Perlahan teman-teman, sahabatku, dan orang yang
kucintai pergi meninggalkanku. Entah karena mereka tidak paham terhadap
perubahan diriku, atau mereka terlalu tidak perduli.
Why did the disease choose me?
Aya bertanya pada ibunya sambil menangis. Seketika aku teringat pada suatu hari aku pun menanyakan hal yang sama pada ibuku.
"Mengapa harus aku?"
"Mengapa tidak yang lainnya?"
Aku masih punya mimpi dan cita-cita yang ingin kukejar. Tapi aku berusaha untuk bertahan.
Dengan segala ketidaktahuanku, kuhabiskan hari untuk mencari informasi
tentang penyakit ini. Ternyata fenomena skizofrenia ini sudah ada sejak
sebelum abad ke-18. Tidak hanya skizofrenia, fenomena kegilaan lainya
pun ditemukan pada masyarakat-masyarakat primitif. Focaul, seorang postmodernis dari Eropa dalam essaynya Madnes and Civilitation
menyebutkan bahwa fenomena dukun Shaman mempunyai ciri-ciri kegilaan.
Tapi aku kan tidak gila? Menurut orang-orang aku hanya aneh.
Tapi semakin aku mencari, semakin aku merasakan kerapuhanku untuk bisa
bertahan hidup. Kenyataan bahwa penderita Skizofrenia akan menjadi beban
bagi orang-orang disekitarnya. Kenyataan bahwa ODS (Orang Dengan
Skizofrenia) dipandang sebelah mata, bahkan diasingkan dan dirantai!.
Aku merasa bahwa hidup itu bagaikan sebuah mozaik. Setiap kejadian yang kita alami adalah kepingan puzzle yang berserak. Satu demi satu kepingan itu akan kita temukan menjadi sebuah gambaran utuh diri kita.
Mungkin, sebagian orang akan dengan mudah menemukan kepingan puzzle dan menyusunnya menjadi sebuah gambar yang utuh. Namun tidak sedikit orang yang berususah payah mencari kepingan puzzle-nya,
bahkan ketika menemukannya pun, ia tidak bisa segera mengenali, gambar
mana yang mencerminkan dirinya. Orang Dengan Skizofrenia adalah satu
dari sedikit orang itu. Dan akulah satu diantaranya. Inilah yang aku
temukan.
Selama ini sungguh aku tak mengenali diriku senfiri, siapa aku dan apa
yang aku inginan. Kini, aku melihat kenyataan yang membuatku terkejut
bahwa diriku tak sesempurna yang kupikirkan. Wajahku cantik, prestasi
akademikku tak pernah mengecewakan. Keluargaku, sayang padaku. Tapi
kenyataan membuka mataku, bahwa aku adalah seseorang yang kadar dopamin
dan serotoninnya tidak normal. Selama ini, sungguh meskipun aku tahu
bahwa aku seorang skizoprenic, aku meremehkannya. Toh, aku merasa bisa
beraktifitas serperti orang normal meski tak tahu batas dimana aku tak
mampu mengerjakannnya. Tapi sekian waktu berjalan, aku tetaplah seorang
skizoprenic yang harus berkutat dengan oabt dan injeksi. Aku menyadari
bahwa diriku tidak bisa disamakan dengan orang normal lainnya. Selama
ini, sungguh aku memaksakan diriku untuk bisa melebihi orang normal. Aku
ingin menunjukkan bahwa skizoprenic juga bisa berguna. Skizoprenic
bukanlah sampah yang dibuang masyarakat. Tapi aku lupa, bahwa memang
segala tenagaku, pikiranku tetap tidak bisa melebihi orang normal.
Aku sempat tidak bisa melihat gambran diriku dengan jelas. Sangat sulit
bagiku untuk mendefinisikan perasaaan apa yang berkecamuk di hatiku.
Bahakan menterjemahkan sedih atau bahagia, aku tidak bisa. Apakah aku
benci atau cinta. Kadang dalam tawa, aku menangis, begitu pula aku
tertawa dalam tangisanku. Apa yang terjadi dalam hidupku masih menjadi
misteri. Seperti hutan lebat yang pekat tiada cahaya untuk disusuri.
Seperti mencari bayangan disaat gerhana. Aku bahkan tidak pernah tahu
sampai kapan ini berakhir. Sakit sekali rasanya bila apa yang kuinginkan
hanya bisa kulihat, dan tanpa bisa kugapai.
Sakit sekali rasanya melihat orang lain bisa memperolehnya dengan mudah, sementara aku harus bersusah payah.
Sakit sekali rasanya, harus menerima
kenyataan bahwa aku tidak mampu menyamai langkah teman-temanku, bahkan
dengan berlari sekalipun.
Sakit sekali rasanya, menerima kenyataan
bahwa selama ini aku menjadi beban bagi orang-orang disekitarku.
Mendengarkan keluhan mereka tentang sikap dan tingkah lakuku yang aneh.
Sakit sekali rasanya, bukan karena aku
dibenci, tetapi segala usahaku yang tampak sia-sia. Sekeras apapun aku
berusaha untuk menjalani hidup, seperti orang normal, tetap saja aku
adalah skizofrenic yang penuh dengan kecemasan dan ketakutan. Bahkan
menatap masa depan pun aku tidak berani.
Jika Aya akhirnya bisa menerima kondisi dirinya dan tetap bertahan utnuk
hidup, pada akhinya aku harus menerima kenyataan dan terus berjalan.
Meski sesulit apapun hidup yang kujalani, berkali-kali relaps dan masuk rumah sakit. Tetap saja esok hari aku membuka mata dan menatap sinar matahari pagi.
Seperti Aya, aku berusaha berdamai dengan diriku. Menerima diriku apa
adanya. Menerima kekalahan dan kelemahan. Menerima ada banyak hal yang
tidak bisa kuraih. Menerima bahwa aku harus terus minum obat, entah
sampai kapan. Atau mungkin seumur hidup.
Namun cara apapun yang kita lakukan untuk sembuh dari penyakit ini,
butuh waktu yang lama untuk melakukan proses belajar. Penyakit ini tidak
sama dengan sakit flu yang sekali minum obat besok langsung sembuh.
Melihat Aya yang bersemangat dan terus menulis ditengah keterbatasannya.
Aku pun mulai bersemangat untuk menuliskan apa yang kurasakan, apa yang
ada dalam pikiranku. Karena aku takut, suatu hari nanti aku tidak akan
bisa mengingat lagi saat-saat yang paling membahagiakan, bahkan
menyedihkan sekalipun. Aku lupa aku pernah mencintai siapa, dan
bagaimana rasanya.
Selama tujuh tahun Aya bertahan hidup, pada akhirnya ia meninggal saat
usianya 22 tahun. Sedangkan aku telah melewati tujuh tahun dan hidup
sampai saat ini. Sesungguhnya aku sangat takut untuk bermimpi tentang
masa depan. Akan kemana lagi aku setelah ini. Apakah aku akan bekerja,
menikah, punya anak dan keluarga seperti teman-temanku yang lainnya.
Yang aku tahu aku masih punya setitik harapan untuk bertahan hidup. Demi
ayah, ibu, dan adikku, demi melihat ODS lain yang sama-sama berjuang,
demi menuliskan perasaan sedih dan bahagia, harapan dan cita-cita.
Agar kelak jika suatu hari nanti aku telah tiada, setidaknya aku bisa
memberikan semangat pada ODS yang lain untuk tetap berahan hidup dalam
kondisi seburuk apapun. Mungkin mereka benar, ODS sepertiku perlu
seseorang yang mencintai dan mengasihi dengan tulus. Seseorang, yang
membantu menemukan puzzle-puzzle yang terserak diantara
puing-puing hati yang rapuh. Lalu menyusunnya menjadi suatu gambaran
yang utuh. Mengambilkan cermin dan berkata, ini lah dirimu yang
sebenarnya. Begitu indah dengan keunikannya.
Oleh : Tyas
(Terinspirasi kisah seorang sahabat di Malang teruslah semangat. We love you....)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar